“Kalau kita perhatikan lirik lagu tersebut akan menimbulkan ketersinggungan orang lain, seperti pada lirik yang suka ke WC namanya Tahiruddin dan yang agak stres namanya Sarafudin,” katanya di Mataram, Jumat (11/3/2011).
Ia mengatakan, pada dasarnya setiap karya seni lahir sebagai ekspresi manusia yang bebas namun harus selalu berlandaskan nilai estetika yang membaur dalam harmoni, fokus, keseimbangan dan totalitas.
“Menyimak lagu Udin Sedunia baik versi bahasa Indonesia maupun Sasak (Lombok) kita terpukau oleh kecerdasan dan kreativitas pencipta dalam mengolah atau memainkan kata-kata. Itu hak dan domain seniman,” katanya.
Ia mengatakan, lirik lagu tersebut untuk sebuah hiburan cukup berhasil, namun ternyata menimbulkan rasa kurang nyaman bagi orang lain.
“Lagu itu terkesan norak dalam arti berlebihan, tidak serasi, dan ada kesan negatif lainnya. Misalnya ada nama Sarafudin dan Sapiudin, serta Tahirudin pada lagu versi Sasak (Lombok),” katanya.
Menurut dia, kreativitas seniman seyogyanya dibarengi dengan kecerdasan dalam mempertimbangkan lingkungan dan kearifan lokal. Apalagi ada tradisi pada beberapa suku yang menganggap nama adalah sebuah kesucian dan terkadang diresmikan dalam sebuah ritual atau upacara.
“Sebagai produk kreativitas seni mungkin layak diberi apresiasi, namun sebagai karya seni pencerahan, lagu itu layak juga ditolak,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTB Sukri Aruman mengatakan, sehubungan dengan kian tenarnya lagu Udin Sedunia karya pemuda asal Lombok itu pihaknya menerima sejumlah pengaduan, karena lirik lagi tersebut terkesan memperolok dan melecehkan orang lain.
Menyikapi pengaduan masyarakat tersebut, KPID bersama Majelis Ulama Indoesia (MUI), budayawan/seniman Lombok dan Sumbawa serta akademisi melakukan kajian untuk memastikan bahwa apakah penyiaran lagu tersebut baik oleh radio maupun televisi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) atau tidak.
sumber : surya.co.id