Berbeda dengan ibu tiri, ayah tiri jarang memperoleh stigma sebagai 'ayah tiri jahat', karena mereka cenderung menghabiskan waktu yang lebih sedikit dengan anak-anak dibandingkan ibu tiri.
Hal ini menyebabkan munculnya stereotype di masyarakat bahwa munculnya orang baru, terutama orangtua tiri dalam keluarga dapat menjadi suatu hal yang mengerikan dalam kehidupan seorang anak.
Penulis buku Intimate Relationship, Huh Kyungok mengatakan di mata anak ibu tiri adalah orang yang jahat dan menakutkan. Sehingga jika ada mama baru sulit mereka akan membentengi diri dan butuh waktu yang tidak cepat untuk menerimanya.
Perubahan yang terjadi ketika orangtua menikah lagi memang akan mempengaruhi kondisi psikologis anak secara keseluruhan. Apalagi jika hal ini terjadi secara tiba-tiba, sudah pasti anak akan merasa shock.
Akibatnya, seringkali anak terlibat masalah, mulai dari mogok sekolah, melakukan kenakalan, mengurung diri, hingga kabur dari rumah. Belum lagi rasa bersalah yang menghinggapi mereka jika perpisahan orangtuanya akibat perceraian, yang tidak mudah terhapus begitu saja.
Menurut Emily Visher dan John Visher, psikolog dan psikiater, penulis buku Stepfamilies: a Guide to Working with Stepparents and Stepchildren, Minggu (13/2/2011) ada suatu karakteristik keluarga tiri yang harus dipahami oleh orangtua tunggal yang ingin menikah lagi, yaitu bahwa hubungan orangtua kandung-anak memiliki sejarah yang lebih panjang dan ikatan yang lebih kuat dibandingkan hubungan orangtua tiri-anak.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena seringkali orangtua tiri dianggap sebagai penyusup atau orang luar yang masuk ke dalam keluarganya. Akibatnya, anak akan berusaha membentengi dirinya terhadap orangtua atau saudara tirinya.
Selain itu, sebagian anak di keluarga tiri memiliki ikatan dengan dua rumah tangga dengan dua peraturan yang berbeda. Hasilnya, struktur hubungan dalam keluarga tiri menjadi lebih kompleks dibanding keluarga kandung.
Seringkali anak mengalami kebingungan karena peraturan-peraturan yang ada di dalam keluarga ayahnya mungkin berbeda dengan peraturan di keluarga ibunya. Ditambah lagi bila ternyata orangtua tiri membawa anak dari perkawinan sebelumnya, sehingga membutuhkan penyesuaian yang lebih mengenai peraturan dan perannya dalam keluarga.
Ketakutan-ketakutan Anak pada orangtua tiri
1. Ketakutan yang paling besar yang akan muncul adalah anak akan merasa terjebak dalam peraturan keluarga yang baru, konflik, serta larangan-larangan yang mungkin berbeda dengan yang dipegang oleh keluarganya yang dulu.
2. Ketakutan lain adalah kehadiran orangtua baru akan menggantikan posisinya di mata ayah atau ibu kandungnya. Anak merasa takut bila perhatian dan rasa sayang dari ayah atau ibu kandungnya akan berkurang karena adanya pasangan baru, bahkan mungkin anak tiri yang dibawa oleh pasangannya.
3. Anak pun takut kalau pada akhirnya menyukai orang tua tirinya, ia akan menyakiti perasaan salah satu orangtua kandungnya.
4. Selain itu, anak juga memiliki ketakutan yang besar bila keluarga barunya suatu hari akan mengalami perpisahan lagi, sehingga ia akan kembali merasakan perasaan sakit dan kehilangan yang mendalam seperti yang sebelumnya ia rasakan dengan keluarga kandungnya.
Di sinilah peran penting orangtua untuk memberi pemahaman dan penjelasan kepada anak mengenai kondisi yang dialami keluarga, serta apa yang akan terjadi dengan keluarganya ke depan dengan adanya perubahan struktur keluarga.
Tips Mempersiapkan Anak Untuk Menerima Kehadiran Orangtua Tiri
1. Sosialisasikan kepada anak.
Sosialisasi tahap awal dapat dimulai dengan mengenalkan anak kepada 'teman' papa atau mama. Namun, yang perlu diingat oleh orangtua adalah bahwa prosesnya tidak akan mudah. Anak menghadapi kenyataan bahwa ada orang lain yang akan menggantikan posisi ayah atau ibunya. Sang 'teman' ini akan dianggap sebagai 'penyusup' atau intruder dalam kehidupan keluarganya.
2. Proses pendekatan yang efektif.
Anak usia remaja lebih sulit untuk bisa menerima kehadiran 'teman' orangtua, dibanding ketika anak belum menginjak usia remaja. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pendekatan yang lebih lama dan efektif untuk dapat mendekatkan hubungan antara anak remaja dan 'teman' orangtuanya.
Apalagi, menurut William M. Pinsof dan Jay L. Lebow dalam buku Family Psychology: The Art of Science, remaja yang tinggal dengan keluarga tirinya memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan beresiko seperti penggunaan obat-obatan terlarang, minum alkohol, dan melakukan seks di usia muda. Dengan demikian, proses sosialisasi dan pendekatan hubungan antara remaja-orangtua tiri menjadi lebih lama dan rumit.
3. Menjalin hubungan yang berkualitas.
Selain proses awal, 'teman' papa atau mama ini butuh banyak waktu untuk menjalin hubungan yang berkualitas dengan anak sebelum nantinya mereka akan menikahi orangtua kandung si anak. Menurut Mario, faktor kedewasaan tiap orang dan kualitas hubungan dalam keluarga berperan penting terhadap mulus atau tidaknya proses ini.
sumber : http://iqhna-dodiandani.blogspot.com/2011/02/ibu-tiri-di-mata-anak-kecil.html